Kios Ojo Keos, Januari 2022. Saya sedang diwawancarai oleh jurnalis veteran Danny. Mr. Vino Karsantini, yang hari itu bertugas di Kios Ojo Keos, turut mendengarkan perbincangan kami di depan kamera.
Selesai wawancara, Vino berkata bahwa cerita saya tentang asal mula pernah menjadi manajer Efek Rumah Kaca mirip dengan kisahnya bersama Mad Madmen. Saya bertanya ke Vino, apakah bisa membeli CD album Mad Madmen, dan Vino segera menyodorkannya.
Malam itu, di depan Kios Ojo Keos, ada juga para personil Mad Madmen, Kalam Mahardhika (gitar, vokal, vokal latar) dan Marvin Muhammad (bas, vokal, virtual instruments, vokal latar), saya tidak tahu bahwa bisa saja perjumpaan tersebut adalah pengantar kepada mendengarkan CD-nya esok hari, pertanda bahwa album yang baru dibeli itu akan cocok untuk saya. Dugaan yang berlebihan sebetulnya, mengingat sangat mungkin memang anak-anak Mad Madmen biasa nongkrong di sana. Saya menulisnya kini pasti karena sudah jatuh cinta kala telah memutar albumnya, berkali-kali.
Seperti kali ini di EZKOPI, tempat ngopi baru di dekat rumah mertua saya di Tebet, Jakarta, saya kembali mencemplungkan CD ke dalam laptop. Judul albumnya: Mental Breakdance. Lagu pembukanya, “Waltz untuk Dara” langsung jadi kesan yang menggairahkan.
Mendengarkan keseluruhan Mental Breakdance, yang ditemui adalah peleburan beragam pengaruh musik, gebyar sekali, dari funk, jazz, progressive rock, waltz, reggae, hip hop, blues, bermacam-macam dengan hasil akhir yang bisa saja diketageorikan sebagai “alternative” yang, aduh, ini rentan terdengar klise tapi benar adanya: segar sekali! Seperti sensasi pertama kali mendengarkan Red Hot Chili Peppers atau Faith No More dalam racikan rekaman teraduhainya, di masa kita belum mengenal internet atau sesudahnya. Dalam konteks lokal, mungkin seperti mendapatkan putik-putik anggrek dari TOR dan SORE sekaligus, itu pun masih ditambah kejutan lainnya.
Sembilan lagu di album ini bagus semua, dengan kelas atas dari “The Striker” yang menampilkan Ade Paloh yang merayap ke mana-mana serta “KOBE” yang menghadirkan rapper Angan Dahooman, Bila RHCP memiliki “Magic Johnson” (saya juga terinspirasi dengan membuat indie pop “Sky hook” untuk sosok Kareem) mungkin ini kelanjutannya dari Mad Madmen. Sementara pada “Big Ol’ Jazzmaster”, secara cerdik dan mengesankan mereka memasukkan bagian “Master… Master” dari karya klasik Metallica, “Master of Puppets”.
Dengan album secanggih ini, saya jadi ingin mengobrol dengan para personilnya. WA-an kasual sekenanya saja. Pemain drum dan vokal latar Thareq Satria Lubuk sudah tidak bersama Mad Madmen, saya pun mengobrol dengan dua personil tersisa: Kalam dan Marvin. Sementara menonton wawancara Mad Madmen bersama Eka Annash ketika formasi mereka trio, saat itu masih di era EP Ego Friendly, di saluran Youtube DISKAS!, bagaikan sensansi menonton wawancara band favorit di masa awalnya di zaman video Betamax/VHS atau Laser Disc: sangat berharga.
Mari kita mulai dengan ngobrol bersama Kalam Mahardhika…
Kalam, lo lahir kapan dan di mana?
Jakarta, 14 Desember 1994.
Dari mana awal pertama lo suka musik?
Kayaknya tergolong agak belakangan gue sadar suka musik. Sebelumnya gue malah bercita-cita jadi ilustrator. Tahun 2007 gue baru bener-bener ngulik musik yang di luar pop Top 40 chart. Mulainya dengan thrash metal dulu.
Kenapa tahun 2007 bisa mengulik thrash metal?
Awalnya gue suka blues dan reggae, terus gue mulai ngobrol sama seorang kawan yang dengerin metal. Dari situ gue dengerin album And Justice for All-nya Metallica dan langsung kepincut.
Kalau suka blues dan reggae dari mana?
Nyokap suka banget sama blues. Dia sering dengerin Clapton dan Gary Moore. Mungkin bawaannya dari situ. Kalau reggae, pengaruh dari best friend gue pada saat itu, namanya Harry. Gara-gara dia gue jadi beli CD Legend-nya Bob Marley di Sarinah.
Lalu setelah lo kepincut dengan Metallica – And Justice For All, apa yang terjadi?
Nah, ini masuk ke bagian gue kenal sama Marvin. Gue mulai ekspansi wawasan musik karena suatu hari liat display picmsn messenger-nya Marvin. Dia majang fotonya Les Claypool, bassist-nya Primus. Karena gue ngulik Metallica, gue tahu bahwa Claypool pernah audisi untuk mereka pasca Cliff Burton meninggal. Jadi, gue sapa deh si Marvin, “Itu bassist-nya Primus ya?”. Dari situ kita berdua kalau ngomongin musik mau itu referensi baru atau apa pun jadi selalu sapa-sapaan msn. Ada masanya kirim-kiriman link Youtube, dll. Dari situ, dan salah seorang teman nyokap, gue ter-exposed sama Casiopeia, Return to Forever, Al di Meola, dll. Jadi mulai suka dengerin dan ngulik fusion jazz.
Berapa usia lo dan Marvin saat itu?
Kami masih SMP, kurang lebih 13 tahun pertama ngobrolin soal musik.
Terus lo ngajak Marvin dengerin fusion jazz juga?
Marvin yang awalnya ngajak gue dengerin fusion. Marvin pada masa itu dengerin Weather Report dan Return to Forever banget. Dari referensi yang dikasih Marvin gue menemukan Pat Metheny Group dan John Scofield, baru gue bisa bertukar referensi dan ngajak dia dengerin yang gue dengerin juga.
Setelah itu, apa yang terjadi?
Kami juga tetap dengerin musik yang di luar mutual interest masing-masing. Gue tetep dengerin rock dan metal, Marvin juga mulai dengerin Beatles, dll. Dari situ kami menemukan teman-teman lain yang punya referensi musik serupa dan bikin band iseng-iseng awal 2009. Jadi sebenarnya gue dan Marvin gak pernah putus main musik bareng efektif dari 2009. Mau formasinya ganti, personil ada yang cabut, atau apa pun itu, gue dan Marvin selalu lanjut berdua. Dari sejak 2009 kayaknya gue dan Marvin sudah berusaha bikin proyek musik bareng sekitar enam kali sebelum pada akhirnya jadi Mad Madmen pada 2018.
Kapan kalian pertama belajar alat musik?
Dulu di sekolah kami ada mata pelajaran wajib namanya MusicArtTheater, disingkat jadi MAT. Kami berdua mulai nge-band bareng karena sama-sama memilih untuk ikut kelas band. Marvin ikut band tahun 2008, gue gabung tahun 2009. Gue belajar gitar pertama tahun 2004, Marvin belajar bas pertama 2006 kalau gue gak salah.
Apa yang bikin lo belajar main gitar?
Nyokap. Nyokap bilang gue harus bisa alat musik sebagai sarana sosialisasi baru. Dia awalnya nyuruh gue les piano, tapi gue gak betah. Pas disuruh les gitar, baru gue nyaman. Tapi yang benar-benar bikin gue ngulik adalah almarhum kakek gue. Dulu gue suka malas latihan. Setelah beliau wafat tahun 2005 gue jadi pengen bisa mainin lagu “Les Paul & Mary Ford” karena dia selalu cerita soal mereka pas masih ada,
Lanjut ke Mad Madmen, bagaimana awal terbentuknya?
Mad Madmen awalnya terbentuk karena gue dan Marvin sudah lama banget main bareng. Tahun 2017 gue berusaha bikin solo project yang kemudian gak berhasil. Di situ Marvin terlibat sebagai bassist. Dari solo project itu yang awalnya formasinya berlima jadi hanya sisa 3, tapi kemudian drummer kami cabut juga. Dari situ gue minta tolong Marvin untuk cari drummer dengan 1 requirement: nongkrongnya cocok. Ketemulah Thareq, dan kami coba latihan sekali. Setelah sempat ngobrol heart to heart saat latihan kedua kalinya, ternyata Thareq cocok banget visinya sama gue dan Marvin. Plus dia bisa jadi katalis untuk gue yang punya preferensi musik dan komposisi yang lebih ritmik dan Marvin yang lebih mengutamakan melodi dan harmoni. Dengan adanya Thareq, gue dan Marvin ide-idenya jadi bisa ‘kawin’. Resmi jadi Mad Madmen itu Juni 2018 seinget gue.
Band-band lo sama Marvin sebelumnya, musiknya kayak gimana?
Sebelumnya gak pernah ada karya musik yang ori. Mentok-mentok pernah bikin 2 atau 3 lagu yang vibe-nya agak-agak Led Zeppelin tapi gak pernah dipublikasikan karena gue dan Marvin gak sreg 100 %.
Band-band kalian terdahulu bawain apa saja?
Banyak bawain Queens of the Stone Age, sempat bawain the Beatles, Nirvana, Radiohead, Tears for Fear. Gak pernah ada benang merah yang jelas kecuali gue dan Marvin sama-sama suka dan dengerin.
Ketika mau bikin proyek solo tahun 2017, lo kebayangnya musiknya kayak gimana?
Groove/jam oriented banget. Referensi utama gue adalah Medeski Scofield Martin and Wood, Lettuce, John Scofield, Wayne Krantz, dan Vital Tech Tone. Benar-benar funk/jazz/rock dan instrumental. Solo project gue pada saat itu gak ada komposisi yang ada liriknya.
Ketika akhirnya membentuk Mad Madmen, apa saja yang kalian bertiga bicarakan tentang musiknya?
Kami bertiga pada saat itu sepakat bahwa musik Madmen harus bisa mewadahi dua polaritas: musik tipe Kalam yang lebih funk dan groove, sama musik Marvin yang lebih banyak chord changes dan teksturnya. Pada dasarnya sisanya terbentuk dengan sendirinya. Elemen-elemen modulasi metric, komponen syairnya, dan lain-lain gak pernah dibahas secara spesifik, yang pasti kami bertiga ingin bermusik dan menyampaikan sebuah narasi dalam musiknya, apa pun itu konteks narasinya. Makanya kayaknya syair syair lagu Madmen banyak yang personal.
Lagu-lagu apa saja yang pertama kalian tulis?
Lagu pertama itu “Funky Child”, lalu “Cold Turkey” dan “Snakes in My Head”. Itu komposisi gue semua. Marvin menulis “Does It Make You Feel Better if You Know that I Know Natasha Dear”. Dann“Mad Mad Woman” adalah komposisi pertama yang gue dan Marvin tulis bareng/co-write seumur hidup. Pada dasarnya 5 lagu pertama yang masuk EP Ego Friendly adalah lagu-lagu pertama yang kami tulis.
Siapa yang ngasih nama band Mad Madmen?
Nama Mad Madmen dapat dari wu-tang name generator. Kami masukin nama lengkap kami bertiga terus keluarnya mad madman. Kami ganti jadi Mad Madmen supaya plural.
Oh, begitu. BTW, Thareq sudah nggak jadi drummer Mad Madmen, ya?
Yes, Pak. Sudah resmi mengundurkan diri.
Lalu, siapa yang menggantikan?
Untuk saat ini posisinya masih vacant. Gue dan Marvin sementara waktu bergerak sebagai duo.
Btw lo suka gambar awalnya dari mana, Lam?
Gambar dari kecil banget. Bentuk ekspresi seni gue yang paling awal adalah gambar. Bokap juga jadi alasan besar gue sangat suka gambar. Dia juga salah satu hobinya gambar.
Dulu waktu kecil paling suka gambar apa?
Dulu gue suka banget gambar muka, sampai sekarang kayaknya. Gue gede baca Roald Dahl, jadi gue suka banget ilustrasinya Quentin Blake. Gue bikin-bikin karakter sendiri tapi karena gue gak gitu fasih gambar anatomi jadi seringnya gambar muka.
Kalau bokap, suka musiknya apa?
Bokap bukan orang yang terlalu musikal. Gue tahu dia relate sama lagu-lagu Iwan Fals, tapi di luar itu gue gak pernah tahu dia dengerinnya musik apa.
Lebih hobi gambar, ya?
Yes, kayaknya bagian nulis lirik dan gambar banyak pengaruh bokapnya.
Sekarang kita lanjut dengan sedikit petikan obrolan bersama Marvin…
Lo lahir di mana dan tanggal berapa, Vin?
Jakarta, 17 Desember 1995.
Pertama suka musik gara-gara apa?
Dari kecil, awalnya ngertinya hip hop kayak Eminem atau rock kayak Linkin Park gitu, dibeliin kaset soalnya dulu. Tapi pas 6 SD gara-gara main Guitar Hero jadi tertarik main bas, soalnya lagunya gokil-gokil, jadi kenal Primus, Rush, Black Sabbath terutama.
Lo minta dibeliin kaset atau gimana?
Kayaknya sih antara gue atau abang gue yang minta, karena gue dua bersaudara. Kurang inget sih, cuma basically exposure awal gara-gara lumayan banyak kaset di rumah sama dengerin radio kalo pergi sekolah. Dulu di mobil nyetelnya kalau gak Dewa, Maroon 5 awal gitu, punyanya CD itu soalnya.
Kalau band atau lagu yang menurut lo paling bikin lo jadi suka musik apa, Vin?
Kayaknya awalnya Slipknot ya pas 6 SD atau SMP, gue sampai obsesi banget tuh band itu, sampai sekarang jadi guilty pleasure sih wkwk, padahal gak terlalu dengerin metal. Terus yang obsesi lagi mungkin jazz model Chick Corea atau Jaco Pastorius/Weather Report pas SMP. Eh, Beatles juga parah sih pas SMP akhir/SMA, habis itu doyan Sore juga pas habis nonton filmnya Joko Anwar, Modus Anomali, itu exposure pertama gue ke Sore, lagu “Bogor Biru” di film itu.
Mulai main musik kapan, Vin?
Pas kecil sih dilesin piano pas 1-2 SD, cuman gak betah. Pas 5 SD nyoba drum bentar cuman kayaknya bosen lama-lama soalnya kurang bernada wkwk. Pas 6 SD mulai belajar bass, 1 SMP sudah ikut band sekolah, ngikut-ngikut aja main lagu Cake, Cardigans, habis itu main lagu pop-punk juga sih wkwk.
Kalau main musik bareng Kalam awalnya gimana?
Nah, dari band sekolah juga tuh, mungkin pas 2-3 SMP. Awalnya berteman dari chatting di msn messenger, ngomongin Primus, soalnya sama-sama doyan. Habis itu kayaknya gue yang bujuk dia deh ikut nge-band aja, ngapain ambil mata pelajaran seni wkwk.
Kalian satu sekolah?
Betul, satu sekolah di Bogor, tapi pas SMA Kalam pindah, gue tetep di sana, tapi tetep nongkrong dan ngeband, akhirnya bikin band di luar sekolah juga, iseng-iseng aja cover-cover, sampai banyak literasinya kita nge-band. tapi member inti selalu gue sama Kalam. Sayangnya gak kesampaian rilis apa pun, cuma manggung-manggung saja main cover Led Zeppelin, Queens of the Stone Age, dll.
Ok, maju ke Mad Madmen, masih ingat obrolan seputar apa saja di antara kalian ketika hendak membentuk band itu?
Setelah nyaris 10 tahun nge-band tapi gak bisa jadi band yang beridentitas, Kalam ngajak gue untuk dia bikin solo project, lagu-lagunya cukup jazz/funk rock ya dan mostly instrumental. Gue bantuin saja seperti biasanya, kontrol kreatif gue berikan ke dia lah, karena itu atas nama dia, tapi lama-lama ngadat dan kurang cocok sama personil lainnya. Akhirnya nyoba lagi nge-jam, tapi gue ngajak drummer kenal dari kampus gue, namanya Thareq, ternyata cocok banget secara personal, dan nge-band-nya juga cepat nyambungnya. Terus, karena gue dan Kalam seyakin itu sama Thareq, somehowakhirnya bisa nyatuin pikiran untuk bikin karya original. Jadi, sebenernya katalis terbentuknya Madmen terletak di Thareq. Jadi obrolan antara kitanya ya… setuju saja bahwa ini lebih dari solo project Kalam. Lagi-lagi bikin baru, tapi kali ini sukses bikin karya bareng.
Tentang album Mental Breakdance, ide judul album itu dari mana?
Awalnya becanda sih itu judul wkwk, sebagai working title saja. Tapi gak tahu kenapa lama-lama cocok secara konsep. Kalau gak salah sih ide gue ya judul itu,
soalnya pengen tematis dengan judul EP yang dulu, Ego Friendly yang kebetulan memang semacam wordplay.